Friday 30 November 2018

Napi Kabur dari Lapas Aceh Didominasi Kasus Narkoba


Sebanyak 113 napi Lapas Banda Aceh di Lambaro, Aceh Besar, Aceh kabur setelah membobol penjara. Narapidana yang melarikan diri ini mayoritas diproses hukum karena kasus narkotika.

"Warga binaan yang melarikan diri ini adalah dominan kasus narkoba. Mereka juga merupakan pindahan UPT dari kabupaten lainnya," kata Kapolda Aceh Irjen Rio S Djambak kepada wartawan di Lapas Banda Aceh, Jumat (30/11/2018).

"Mungkin dulunya sebelum dipindahkan di sana mereka dipindahkan karena rawan atau berniat ingin melarikan diri. Makanya mereka dipindahkan ke sini," jelas Rio.

Menurut Rio, kasus bobolnya pada Kamis (29/11) malam kemarin tidak ada keterkaitan dengan rusuh dan pembakaran lapas pada awal Januari lalu. Polisi hingga kini masih menyelidiki motif kaburnya 113 napi.

"Tidak ada hubungannya (dengan pembakaran) jauh itu, jauh sekali ya jangan dihubung-hubungkan yang sudah lalu," ujar Rio.

Saat ini sudah 26 napi yang berhasil diciduk kembali. Mereka ditangkap di sejumlah tempat seperti persawahan, rumah warga dan sekitar lapas.

"Dari 113 yang melarikan diri hingga pagi ini telah berhasil diamankan 26 warga binaan. Sisanya 87 orang masih terus dilakukan pengejaran," kata Rio. 

Pemerintah Dinilai Lambat Respons Perkembangan Ekonomi Digital





Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Yon Arsal mengungkapkan, pemerintah cenderung lambat dalam merespons perkembangan ekonomi digital yang begitu cepat. Padahal banyak potensi pajak yang bisa diterima negara melalui kehadiran e-commerce yang kini terus berkembang. "Memang biasanya, di mana-mana pemerintah relatif pandangan umum terkesan lambat mengantisipasi perubahan yang amat cepat ini," kata Yon di Auditorium Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesi (UI), Depok, Jumat (30/11/2018). Menurut Yon, perubahan cepat itu menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah, khususnya DJP dalam mengawal perpajakan di Indonesia. Apalagi kini perusahaan-perusahaan di Tanah Air terus berkembang dan menggeliat. "Challenge-nya adalah bagaimana pemerintah untuk bisa secara cepat merespons perubahan yang terjadi. (Persoalan ini) tidak hanya di Indonesia, tapi hampir di seluruh negara," ujarnya. Dia menjelaskan, kendati demikian pihaknya tetap mencermati perkembangan yang terjadi. Pasalnya, untuk membuat aturan baru mengenai pengaturan usaha bukanlah sesuatu yang mudah dan cepat. Butuh proses dan waktu yang panjang. "Sekarang aturan pajak memang relatif tidak gampang membuatnya. Kalau hari ini bisnis nongol, lalu besok tiba-tiba dibuat undang-undangnya, kita ganti tidak bisa," tuturnya. Yon menilai, regulasi yang berlaku saat ini memang belum begitu maksimal dan menyeluruh untuk mengawal potensi-potensi pajak. Inilah yang menjadi pekerjaan rumah pemerintah agar segera mencari solusinya. "Pemerintah, konteksnya Kemankeu, Dirjen Pajak, tentu harus mampu membuat terobosan. Satu dalam administrasi perpajakan dan sehingga tidak menjadi korban digital. Kedua, bagaimana menyediakan policy (kebijakan) yang efektif," tandasnya. Menurut Yon juga, dalam konteks pajak, ada dua isu utama yang penting. Pertama adalah tentang menyederhanakan tata cara perpajakan dan memberikan insentif pajak bagi para investor. "Kalau kita lihat secara umum, kita belum mengeluarkan regulasi yang amat sangat signifikan dan berbeda dengan regulasi yang ada saat ini," tutupnya.